Rasa sakit.
Ketika tanganmu tergores, ketika kakimu terpelintir, ketika
kepalamu terbentur sesuatu, ketika wajahmu tertampar, yang kamu rasakan adalah
sakit.
Tak apa. Itu tak seberapa.
Masih bisa terobati dan bisa ditangani, entah oleh dirimu
sendiri atau orang – orang yang akan bersedia untuk mengobati.
Sakit itu adalah hal wajar yang semua orang pasti pernah
mengalaminya. Walaupun dengan porsi yang berbeda – beda, tapi itu yang membuat
kita menjadi manusia yang menggunakan otaknya untuk bekerja dan berpikir secara
alami.
Tapi ada satu rasa sakit, yang mendarah daging di diri
masing – masing. Yang tak bisa diobati oleh orang lain selain dirimu sendiri.
Satu, rasa sakit itu berasal dari hati.
Kita tak bisa mengerti datangnya dari mana, wujudnya pun
kadang tak kasat mata. Tak seperti ketika kita merasa sakit karena tergores
aspal atau tertusuk jarum peniti yang bisa kita temui. Tapi rasa sakit yang
tertanam dalam hati itu sulit untuk benar – benar kita ketahui.
Bahkan otakpun tak bisa bekerja dengan baik untuk mengetahui
hal ini. Apalagi untuk mengetahui obat
apa yang tepat untuk mengobatinya, otak benar – benar tak mengetahui. Karena
pada dasarnya, hati punya pilihannya sendiri.
Sakit juga bisa datang dari mana saja, tapi kadang kita tak
pernah mengerti kenapa hal yang disebut sakit itu bisa terjadi, bahkan tak
sekali.
Begitupula dengan sang hati.
Hanya karena melihat dirinya tertawa dengan orang lain,
hanya karena dirinya tak menanggapi sapaan kecilmu di pagi hari, atau hanya
karena dirinya tak bersikap baik dengan dirimu, mungkin itu bisa membuat hatimu
sakit akan hal yang sebenarnya tak perlu kita tanggapi dengan serius.
Tapi kadang itulah hati, dia selalu tersakiti dengan hal –
hal kecil yang terjadi di sekitarmu ini.
Mungkin rasa sakit tergores benda sesuatu bisa kita hindari
untuk terjadi lagi, tapi tak begitu dengan sang hati. Entah sudah berteman
dengan yang namanya rasa sakit atau tidak, nyatanya hati kadang lebih memilih
disakiti, lagi dan lagi. Bahkan ketika otak memaksa untuk berhenti, tapi harus
ditegaskan sekali lagi kalau hati punya pilihannya sendiri.
Hati lebih memilih membiarkan rasa sakit itu tinggal dan
menggerogotinya sendiri. Lebih memilih membiarkan rasa sakit sebagai teman yang
tak bisa dipisahkan olehnya lagi. Karena hati ingin belajar untuk bisa menjadi
lebih kuat lagi. Setelah apa yang membuatnya tersakiti itu bisa diikhlaskan dan
direlakan dengan segenap kemampuan yang dia punya nanti, dia akan meninggalkan
rasa itu pada waktu yang sudah dia tetapi. Karena selain punya pilihannya
sendiri, hati pun tau kapan dirinya harus berhenti untuk disakiti.
“Rasa sakit yang kau beri, tak sesakit ketika perbuatanmu lah yang menjadi senjata utama bagi dirimu sendiri. Jadi berhati – hatilah dalam hal menyakiti."
20:06
myself.
Komentar
Posting Komentar